DARI benua hitam Afrika, sebuah kabar duka berhembus. Lelaki sepuh Nelson Mandela telah meninggal dunia pada usia 95 tahun. Ia tidak saja meninggalkan warisan berharga bagi Afrika, ia juga meninggalkan persembahan berharga bagi dunia. Jejak kakinya di muka bumi laksana jejak kaki manusia-manusia suci yang meninggalkan pasasti perdamaian dan permaafan yang dicatat dalam tinta emas sejarah. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menyanjung Mandela yang wafat pada usia 95 tahun sebagai “raksasa keadilan” yang menginspirasi kebebasan di seluruh dunia. “Banyak orang di seluruh dunia terpengaruh oleh perjuangan tanpa pamrihnya untuk martabat, kesetaraan dan kebebasan manusia. Dia menyentuh hidup kita dengan cara yang begitu personal,” kata Ban seperti dikutip AFP. Sementara presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat Barrack Obama menyampaikan penghormatan khidmatnya dengan menyebutnya sebagai pembawa kebaikan, keberanian, serta makna yang mendalam. “Melalui martabat menyala dan hasrat lurus untuk mengorbankan kebebasannya sendiri untuk kebebasan yang lain, dia mengubah Afrika Selatan dan memajukan kita semua,” kata Obama dalam pidato yang disiarkan dari Gedung Putih. Dari seluruh penjuru dunia, duka cita berhembus. Dari berbagai wilayah, doa dan pengharapan terus dirapalkan demi mengingat lelaki yang mendedikasikan hidupnya untuk kebenaran. Meninggalnya Mandela bukan saja meninggalnya seorang manusia besar yang membawa satu negeri ke era baru, akan tetapi kepergian satu sosok yang meninggalkan warisan berharga bagi kebebasan dan kemanusiaan. Dunia akan mengenangnya sebagai tokoh sejati perdamaian dan permaafan. Ia membuat kompas yang mengarahkan pada jalan terang rekonsiliasi. Negerinya, Afrika Selatan, adalah negeri yang pernah terbakar oleh konflik yang menyala-nyala. Mandela menunjukkan pada dunia bahwa konflik tak akan pernah bisa tuntas selagi ada dendam dalam diri seseorang. Konflik itu hanya bisa diatasi dengan permaafan, melihat masa silam dengan jernih, membaca masa kini dengan bening, lalu membangun matahari di masa depan yang terangnya menyinari. Ia tak punya sedikitpun rasa dendam dalam hatinya, sehingga ketika menjalani masa penjara dan siksaan menyedihkan selama 27 tahun di Pulau Robben, ia tak punya rasa amarah. Di saat bebas dan jadi presiden, Putra Xhosa -Ketua Suku Thembu-, memaafkan semua penyiksanya. Ia memaafkan rezim yang kejam. Ia menawarkan pengampunan dan kerjasama di bawah panji bangsa Afrika Selatan. Ia telah menjungkirbalikkan banyak teori dari filosof yang mengatakan bahwa manusia jahat dan pendendam. Buktinya, rasa maaf yang luar biasa besar telah tumbuh di hatinya dan dipetiknya satu per satu untuk dibagikan kepada semua bangsa Afrika. Saya pernah sekali membaca otobiografinya. Seperti halnya Antonio Gramsci dengan karyanya Prisoner Notebook, Tan Malaka dengan Madilog, atau Pramoedya Ananta Toer dengan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Mandela juga menulis catatan harian dengan kalimat yang tajam bagai pedang dari penjara. Buku yang berjudul Long Walk to Freedom itu tak hanya menjadi sedu-sedannya yang pilu, namun berisikan visinya yang menyala-nyala tentang hari esok yang dibayangkannya. Episode paling menyentuh dalam hidupnya adalah ketika seorang pegawai penjara mendapat tugas untuk menanam tubuhnya hingga dada (dirajam), kemudian mengencingi kepalanya. Itu dilakukan setiap hari. Bayangkan, selama 27 tahun ia harus rela dikencingi sekaligus kehilangan kehilangan semua kehormatan dan haknya sebagai manusia yang berjalan di muka bumi. Dia tidak punya hak asasi dan hanya bisa diam saja mendapat kehinaan seperti itu. Hingga suatu hari, ia bebas dan terpilih sebagai presiden kulit hitam yang pertama. Apa yang pertamakali dilakukannya? Ia mencari pegawai itu ke seluruh penjuru Afrika. Apakah ia akan membalas dendam? Tidak. Ia memeluk lelaki tersebut dengan air mata bercucuran. Mandela meminta maaf karena tak sempat pamit saat bebas dari penjara. Mandela juga berbisik ke lelaki itu bahwa inilah saat untuk melupakan semua dendam dan permusuhan. Inilah saat untuk berbagi hati dan saling memaafkan, kemudian bersama-sama membangun bangsa Afrika yang lama terkoyak oleh konflik dan perang saudara. Afrika memasuki era baru, era tanpa aparteid, tanpa politik yang memosisikan warga kulit hitam sebagai warga kelas dua. 13863047661519126521 saat Mandela mengunjungi penjara yang dulu ditempatinya di Pulau Robben (foto: wisoto.com) Apakah Mandela seorang Rasul? Mungkin. Rasa welas asih serta maaf yang seperti itu hanya dimiliki oleh para Rasul yang berjalan di muka bumi. Barangkali hanya tokoh sekelas Bunda Theresa serta Gandhi yang punya rasa sedalam itu. Mereka semua adalah manusia abad 21 yang berjalan dengan lebih jauh dari pencapaian manusia suci lainnya. Jika banyak manusia suci yang memilih jalan asketis atau menjauhi pusaran politik, maka Mandela justru menceburkan diri ke dalam pusaran politik. Ia masuk ke jantung sistem politik dan menunjukkan bagaimana seharusnya politik didasarkan atas dasar karakter, integritas dan rasa cinta yang demikian dalam. Tak salah jika Mandela adalah prasasti hidup yang abadi dalam sejarah peradaban manusia. Sungguh beruntung manusia abad ini yang bisa menyaksikan Mandela. Kisah kehidupannya serupa kisah-kisah para nabi dan rahib yang mendedikasikan dirinya untuk jalan kebaikan. Tidak mengherankan ketika jutaan manusia di seluruh mencintai lelaki, yang bukan saja memberikan kontribusi bagi perdamaian, namun menyapukan visi kemanusiaan yang kuat pada ilmu pengetahuan, filsafat, dan kebijaksanaan. Spirit untuk Indonesia BANGSA Indonesia selayaknya mengabadikan banyak pada Mandela, tak hanya karena kebiasaannya yang suka memakai batik. Sepanjang sejarahnya, Indonesia terus-menerus dirajam oleh konflik yang berlangsung di banyak daerah. Konflik dan kerusuhan adalah dua senyawa yang terus menempel tubuh bangsa, bahkan sekian tahun setelah bangsa ini memasuki gerbang reformasi. Seyogyanya ada beberapa hal dari Mandela yang bisa sama-sama dipelajari. Pertama, konsep memaafkan untuk mengatasi semua konflik. Di tanah air kita, konflik hanya diselesaikan dengan cara-cara instan, tanpa memahami akar masalahnya. Publik dipaksa negara untuk melupakan konflik begitu saja. Menyinggung konflik dianggap sebagai membuka luka lama. Mandela mengatakan, “I will forgive, but not to forget”. Pernyataan ini bermakna bahwa kita memaafkan apa yang terjadi, namun kita tak akan melupakannya agar peristiwa yang sama tidak terjadi lagi di masa depan. Kita menjadikan masa lalu sebagai cerminan untuk menatap masa kini, dan masa depan. Makanya, sebab-sebab konflik harus dipahami. Kita harus berani mengurai akar masalah, dan di ujung proses mengurai itu, hukum akan menghakimi mereka yang salah, dan kita saling memaafkan atas apa yang telah terjadi. Kedua, kita mesti belajar tentang visi kebangsaan yang kuat. Ketika Mandela menjadi presiden, setelah sebelumnya mraih Nobel perdamaian, ia berkomitmen untuk membangun Afrika yang baru, Afrika tanpa penindasan atas perbedaan. Ia mengatakan bahwa dirinya tidak sedang menghapus dominasi kulit putih, melainkan dominasi kulit hitam pula. Ia ingin membangun dunia yang setara dan harmonis. Ia meletakkan landasan baru yang dibangun di atas penghormatan pada hukum dan kemajemukan. Semangat ini sungguh tepat untuk diterapkan pada negeri yang amat plural seperti negara kita. Belakangan ini, kita sering mendengar konflik dari mayoritas atas minoritas. Semestinya, kita bisa mengelola kemajemukan menjadi satu kekuatan berharga demi negeri yang kuat dan melindungi semua golongan. Ketiga, kita mesti meneladani semangat Mandela yang tidak terjebak dengan benang kekuasaan. Ia hanya mau memimpin Afrika untuk satu periode. Selanjutnya, ia menyerahkan tampuk kekuasaan kepada penerusnya Thabo Mbeki. Mandela seakan hendak mengatakan bahwa ambisi meraih kuasa adalah banteng liar yang bisa menyeruduk ke mana-mana. Ia menunjukkan arah, seberkas cahaya yang memercik di ufuk sana, dan ke situlah bangsa Afrika hendak bergerak. Ia membangun blue print sehingga siapapun presidennya, akan meniti di atas jalan perdamaian. Setiap melihat Mandela, saya selalu dihinggapi iri. Kenapa ia tidak lahir di negeri ini? Kenapa tak satupun calon pemimpin bangsa ini yang menunjukkan dedikasi serta integritas yang luar biasa dan laku asketis demi memikirkan bangsa. Kita diperhadapkan dengan politisi yang saling berburu kursi di ranah kekuasaan. Hampir semua stok pemimpin kita adalah mereka yang tak terbiasa antri minyak tanah bersama rakyat, tak pernah menjalani masa pengasingan demi rakyat, tak memiliki kesediaan untuk mengorbankan kebebasan demi kebebasan orang lain, dan tak memahami bahasa rakyat kecil. Barangkali negeri ini sedang dikutuk. Entahlah. Semoga saja ada sosok sebagaimana Mandela yang dicintai dengan sepenuh jiwa, sosok yang bersedia untuk mendedikasikan hidupnya untuk zaman dan peradaban yang lebih baik, sosok yang rasa cintanya seluas samudera dan menjadi persemaian bibit-bibit kebaikan bagi rakyatnya. Apakah ada sosok seperti itu di jajaran politisi negeri ini? Entah. Tapi saya tetap memelihara harapan. Meskipun Mandela telah meninggal, akan tetapi ia akan selalu abadi. Ia menjadi monumen yang terus-menerus mengalirkan mata air inspirasi bagi dunia. Selamat jalan Mandela.