[Text Version] Bleach 558. The Heart of The Wolf. Semua berawal dari seribu tahun lalu, peperangan yang masih menjadi misteri, peperangan yang menjadi sumbu penyulut bagi perang saat ini. Sang tokoh utama dalam perang itu sudah gugur, Yamamoto Genryuusai Shigekuni. Namun, dendam itu masih membara. Membunuh Genryuusai masih belum cukup memuaskan amarahnya. Dendamnya bukan hanya pada Genryuusai seorang, hatinya telah terpatri untuk memusnahkan seluruh shinigami. Para shinigami yang telah membantai habis kaumnya dua ratus tahun lalu. Dia tidak akan tinggal, sang Raja Quincy tidak akan tertidur untuk selama. Peperangan ini akan menjadi penentu bagi hidup para shinigami, begitu juga masa depan kaumnya. Peperangan sudah mulai menuju titik klimak, genderang perang mulai ditabuh hingga memecah telinga. Ledakan sudah terdengar bak kembang api di awal tahun, beruntun di seluruh penjuru Seirete. Namun, sayang tak ada pemandangan indah yang bisa menjadi hiburan di langit Seirete. Di sudut lain, Komamura masih belum selesai dengan pertarungannya. Lawannya adalah sang Sternritter E, Bambietta The Explode. Seorang Quincy muda dengan kekuatan mengerikan, perempuan muda itu dapat menjadikan segala sesuatu yang disentuh oleh bola reishinya dapat berubah menjadi bom. Namun, Komamura sama sekali tidak gentar, dia telah mendapatkan kekuatan baru dari sang leluhurnya. Teknik rahasia dari klannya yang tersimpan dari generasi ke generasi. Berkat teknik terlarang itu, Komamura mendapatkan wujud manusia sejatinya. Tak ada lagi kuku-kuku tajam di tangannya. Tubuhnya tidak dipenuhi oleh bulu-bulu binatang berkaki empat itu. Dia mendapatkan wujud manusia sebenarnya. Tak hanya itu, bankai yang dia kuasai juga menunjukkan wujud sejatinya, Dangai Joue. Kemampuan Bambietta tak bisa melukai sang Dewa Kebijaksaan itu, tidak pernah bisa. ..... “Di saat aku menginjak medan pertempuran ini, di saat itulah aku meninggalkan kehidupanku!!” Ucap Komamura pelan namun terdengar begitu menakutkan. Tangannya langsung terayun, begitu cepat. Secepat cahaya kilat yang menyambar tanah Soul Society. Bambietta tak bisa kuasa menghindarinya. Sayap-sayap kecilnya kurang cepat membawa tubuh mungil sang sternritter. Gema benturan langsung terdengar di langit Seireite. Benturan akan bilah tajam dan tubuh sang strenritter menciptakan cahaya terang bak cahaya venus di ufuk timur. Perlahan, ledakan itu menyisakan asap tebal yang terbawa angin pelan. “Mustahil.” Geram Bambietta, tubuhnya meluncur dari gumpalan asap akibat ledakan tadi. Dia menukik tajam tepat ke tanah Seireite. Sayap-sayap sucinya sudah tidak bisa dia kepakkan lagi, alih-alih membawanya bermanuver, tubuhnya bahkan tak sempat bergerak karena tekanan gravitasi. “Bomnya tidak meledak.” Gerutunya sedikit kesal. “Sebelum sempat meledak, bomnya terdorong ke tubuhku” Tubuh perempuan mungil itu terus menluncur lurus, hingga akhirnya menghantam reruntuhan bangunan di bawah sana. “Ini...” Gumamnya tidak terima. Di lain sisi, Komamura juga mendaratkan kakinya, bersamaan dengan kaki Kujoku Tengen Myouou yang menyentuh tanah, sebuah getaran seolah mengoyang tanah Seireite. Pemuda ini berhasil mengalahkan lawannya, dia berhasil menumbangkan salah satu Quincy. Tapi, itu masih belum seberapa, dendam dalam hatinya masih meluap. Kematian sosok Yamamoto yang begitu dia hormati tidak akan pernah terbayarkan oleh kalahnya seorang Quincy saja. Tidak, itu tidak akan pernah setimpal, tidak akan. Kakinya perlahan melangkah—diikuti oleh Kujoku Tengen Myouou—di belakangnya. Dia tidak lari, tentu saja tidak, kakinya mengarah tepat ke istana sang raja Quincy, Yhwach. Dia ingin membunuhnya, membalaskan dendam Yamamoto untuknya, meruntuhkan istananya hingga rata seperti tanah. Namun... tubuhnya tiba-tiba menjadi berat. Lututnya tiba-tiba tak bisa menopang berat tubuhnya sendiri, seolah gravitasi seirete membesar berkali-kali lipat dengan begitu saja. Dangai Joue di belakangnya juga tiba-tiba retak, perlahan hancur menjadi serpihan-serpihan reiatsu yang terbang terbawa angin. Tubuh Komamura merasa kelelahan, nafasnya menjadi cepat dan pendek-pendek. “Be... Belum...” Ucap Komamura kesakitan.” Mohon bertahan sebentar lagi, Teknik rahasia perubahan manusia...” Sichibantai Taichou itu mencoba untuk berdiri, menahan rasa sakit sekuat yang dia bisa. Kakinya mencoba melangkah, terhuyung, dengan mata menatap tajam ke arah Istana Raja Quincy, membara, penuh amarah dan dendam. “Jantungku...!” Gumamnya sekarat. “Aku harus bisa ke istana mereka...!” Tekad Komamura mencoba bangkit. Amarah dan dendamnya kini menjadi penyemangat bertarungnya. Menjadi kekuatan untuk mengayunkan pedangnya pada sang musuh. “Aku harus mengalahkan Yhwach...!!” ... Di tempat lain, di Rokungai, tempat yang tidak terjangkau oleh hiruk pikuk peperangan. Sang Leluhur Komamura masih bisa merasakan semangat Komamura. Sang leluhur itu tersentuh oleh tekad Komamura, oleh semangat Komamura. “Sajin.” Gumamnya pelan. “Kau berhasil. Kau bersikap selayaknya anggota klan kita.” “Sekarang aku bangga padamu, Sajin.” Ucap sang Leluhur itu lagi. Wajahnya tak menujukkan rasa senang, juga tak menunjukkan rasa sedih. Tak ada raut kemarahan di mukanya. Begitu datar, wajahnya sama sekali tak bisa ditebak, apakah dia senang, sedih, marah, atau murka. Mata hitamnya hanya melihat jantung Komamura yang berada di depannya. Tergelatak di atas piring seolah itu adalah santapan malamnya. Jantung itu masih berdetak, berima tetap seperti detak jarum jam di kesunyian. Mata sang leluhur semakin sayu, semakin lama menandang jantung itu. Seakan jantung itu memantulkan gambaran apa yang sedang terjadi pada pemiliknya saat itu. “Tidak apa-apa, Sajin.” Mulut sang Serigala Raksasa itu kembali tergerak. “Apa kau sadar, Sajin?” Suara gemuruhnya masih terdengar beberapa kali karena gema yang ditimbulkan oleh dinding gua. “Apa kau sadar yang kau rasakan adalah kehausan untuk balas dendam?” “Kau bilang pada temanmu bahwa balas dendam hanyalah pengorbanan nyawa yang sia-sia.” Ucapnya lagi, “Tapi tak apa-apa, balas dendam adalah sebab mengapa klan kita ada. Kau akhirnya kembali ke wujud asalmu—” “—Kau kembali ke klan kita.” ... Rasa sakit semakin menjalar ke seluruh tubuh Komamura. Tubuhnya sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Dia terhuyung dan tangannya mencoba menopang tubuhnya. Namun, tangan kirinya itu tiba-tiba berubah. Bulu-bulu halus kembali tumbuh dengan cepat dari kulit cokelatnya, jari-jarinya membesar, kuku tajam mencuat jadi ujung-ujung jarinya. Iya, tubuh manusianya telah mengalami masa akhir, tubuhnya kembali pada wujud serigalanya. “Jadi begitu.” Gumam Komamura rintih. “ini...” ... “Ganti ruginya.” Smabung sang Leluhur yang masih berada dalam Gua gelap itu, seolah dia bisa mendengar rintihan sakit anak buyutnya. “Hidupmu sebagai manusia akan segera berakhir, Sajin.” “Kau akan menjadi hewan buas yang mengejar balas dendam.” Gumam sang leluhur, kali ini ucapannya mengandung rasa iba pada Sajin. “Hingga saat itu kau boleh marah, kau boleh mengutuk kam, kau boleh mendendam. Aku masih hidup dengan menikmati kebencian itu.” Sang Leluhur menghela nafas pelan. Pandangan matanya semakin sayu memandangi jantung yang masih berdetak pelan di bawahnya itu. “Sajin yang tersayang. Terima kasih telah melakukan ini untukku—” “—hingga kau menjadi hewan buas yang bisu, aku akan berterima kasih untuk perbuatanmu.” .... Bulu-bulu cokelat itu semakin menjalari tubuh Komamura, mengikuti rasa sakit yang sudah terasa di seluruh tubuhnya. Mulai dari tangan, kaki, hingga seluruh tubuhnya kini sudah tertutup oleh bulu binatang pemangsa. Dia mendapatkan tubuh baru lagi, tubuh barunya berbeda dengan tubuhnya yang terdahulu. Dia mendapatkan tubuh seekor serigala. Iya, serigala dengan empat kakinya. Zanpakutounya terjatuh, berkelontang di hadapannya, tangannya tak bisa menggenggam bilah tajamnya itu, seakan tangan barunya memang tak pernah tercipta untuk menggenggam benda tajam itu. Tubuhnya terhuyung, tergeletak begitu saja karena kelehahan yang bertambah. “Apakah ini akibatnya bila menjual jiwaku untuk balas dendam?” Rintih Komamura pelan. “Akibat dari menjual jiwaku untuk balas dendam meski aku merupakan anggota Gotei.” “Akibat dari tidak mendengarkan apa yang telah kuucapkan pada Tousen...” Keputusasaan berhasil memadamkan bara dendam yang tadi sempat mebakar hatinya. Padangannya mengabur, matanya ingin saja meneteskan air mata, kalau saja dia bisa. Kalau saja dia mampu mengalirkan air matanya. Tapi, seolah matanya sudah kering, dia hanya mampu meratap pada dirinya sendiri. “Peringatan yang berlaku bagi diriku sendiri.” “Aku...” Padangannya mengabur.. perlahan dia mulai menutup matanya, seakan dirinya sudah siap bila ini adalah hari terakhir baginya hidup demi Gotei 13, demi Yamamoto yang dia junjung tinggi. Namun, sebuah tapak kaki berderap di hadapannya, menghentikan matanya yang ingin terlelap. Pandangan samarnya masih melihat dengan jelas siapa yang menghampirinya, bukan musuh. Pun walau musuh yang datang, dirinya sudah tak mampu lagi untuk bergerak. Tetzusaemon Iba, sang Fukutaichounya, orang yang memiliki keloyalan tinggi untuk dirinya, seperti dirinya yang menaruh kesetiaan pada Yamamoto. Iba menggenggam tangan—kaki—komamura, menggendong taichou yang sudah berubah menjadi seekor serigala. Tidak, Iba tidak memandang wujud taichounya, apapun wujud sang taichou, dia tetaplah taichou yang dia hormati, hati sang taichou tidak akan pernah berubah bagi Iba. “Ayo pergi Taichou.” Ucapan Iba penuh dengan keyakinan. “Taichou, Anda tidak salah, sama sekali tidak salah.” “Ayo bertarung Taichou.” Kaki Iba melangkah, menggendong sang Taichou mendekati istana milik sang Musuh. Komamura hanya terdiam, dia ingin sekali mengucapkan sesuatu, hanya saja mulutnya seperti tak pernah diajarkan untuk bicara. “Ayo kalahkansi brengsek Yhwach—” “—Demi Yamamoto Genryuusai-dono” Dia benar-benar mengerti apa yang ada dalam hati sang Taichou, Iba sangat mengerti kenapa Komamura bisa berbuah hingga sejauh ini. Semua demi Yamamoto, sang Soutaichou terdahulu. Iba tak ingin melihat pengorbanan sang taichou hanya berakhir seperti ini. Raja Quincy itu harus mati, demi dendam Komamura Taichou. ... Di tempat yang tidak jauh dari mereka, tempat reruntuhan gedung, tempat Bambietta terjatuh karena menerima serangannya sendiri. Terlihat sang perempuan muda itu tersengal kelelahan, tubuhnya tak bisa bergerak seperti orang lumpuh. “Sialan, kenapa aku bisa kalah sama shinigami...?” Geramnya tidak terima. “Kenapa dari kita berlima, aku yang kalah duluan...?” “Tak akan kumaafkan...” Teriaknya marah. “Pokoknya tak akan kumaafkan...!” Empat bayangan mendekatinya. Benar saja, empat sternritter yang dia cari mendekati Bambietta yang tidak berdaya. “Bambi-chan, kasihan.” Sapa Giselle sambil tertawa senang. Yang lain juga sama, tidak menunjukkan wajah sedih atau kasihan pada sosok Bambietta yang terluka parah. Bertolak belakang sekali dengan kedekatan mereka selama ini. Candice, yang sudah tidak dalam bentuk Volstandignya memasang wajah tak acuh pada Bambietta, seolah mengatakan; ah, masa bodo dia mau kalah atau tidak. Liltotto malah tidak melempar pandang pada Bambietta, dia hanya lebih tertarik menghabiskan es krim yang entah dari mana dia dapatkan—mungkin mencuri dari salah satu shinigami yang dia hadapi tadi. Berbeda lagi dengan Meninas, dia cukup kaget dengan kekalahan Bambietta, atau, dia hanya memasang wajah kasihan saja, berpura-pura khawatir dengan keadaan Bambietta. Satu-satunya yang khawatir pada Bambie hanyalah Giselle. Tapi, tentu saja bukan dalam maksud yang sebenarnya, sesaat setelah dia memasang wajah kasihan. Sudut bibirnya tertarik ke samping, menciptakan senyum manis ke arah Bambietta. “Kami akan membantumu.” Ucap Giselle masih dengan senyum liciknya. “Kami sedih kalau kau tak bersama kami. Tahu, 'kan?” Bambietta membelalak, dia tahu apa yang akan dilakukan Giselle pada dirinya. Dirinya ingin meronta, tapi tangan dan seluruh tubuhnya sama sekali tak patuh pada perintah otaknya. “Jangan... hentikan...” Teriak Bambietta memohon. “Jangan lakukan itu, Gigi...” .... Di atas langit Seireite, terlihat sesuatu yang jathu karena daya tarik gravitasi. Benda itu melesat dengan sangat cepat, melesat hingga menyisakan bekas lintasan sepertiekor komet. Bukan Kurosaki Ichigo, dia tak akan mampu datang secepat itu. Mereka adalah Kuchiki Rukia dan Abarai Renji, berpakaian ala timur tengah, mereka menembus langit menuju medan pertempuran. “Aku akhirnya bisa melihat Soul Society...” Ucap Rukia tak jelas, penampilannya terlihat begitu kontras, seluruh tubuhnya tertutup oleh lain, berpakaian ala Persia dengan google yang dia pakai menambah nilai tersendiri baginya. “Bukan, lebih tepat kalau disebut "Wandenreich"...” Renji tidak menyahut, tapi dia juga sudah sadar kalau Seireite sudah masuk dalam jarak pandang mata normalnya. “Sebentar lagi malam akan datang—” Imbuh Rukia. “Ayo bergegas, Renji!” Akhirnya. Dua bintang utama akan segera menginjakkan kakinya ke panggung pertempuran! NB: Maap selalu menjadi yang terakhir update masalah Text ini. __________ Trans : Xaliber [English : Mangapanda] ___________ Deskrip : Angoez. __ Tolong cantumkan sumber (Link Post ini) atau nama Fans Page ini bila menggunakan text version ini.