Sebenarnya saya tak begitu memperhatikan kasus heboh dokter Ayu jika saja para dokter tidak melakukan manuver. Saya sempat liat sekilas berita kasus malapraktek di televisi tetapi saya pikir tak penting dan sebentar lagi akan berlalu. Saat ada berita tentang demo para dokter, saya juga tak begitu peduli. Saya kira hal wajar saja. Masa hanya mahasiswa dan buruh aja yang boleh demo dan menuntut hak? Saya malah sempat berpikir: ‘wah para dokter ini mulai peduli dengan masalah sosial, ini pertanda baik karena selama ini komunitas para dokter adalah komunitas yang senyap. Namun saat saya melihat ada berita pasien terlantar di berbagai rumah sakit, kemudian ada yang panik, marah dan mengungkapkan rasa kesal. Saya baru sadar: ‘oh… para dokter ini sedang memperjuangkan rekannya yang divonis pidana malapraktek dengan melakukan malapraktek massal’. Lengkaplah sudah keajaiban negeri ini. Semua boleh melakukan semua. Siapa saja boleh melakukan apa saja untuk menuntut haknya dan hak kelompoknya. Sudah tak ada rasa peduli lagi akan tugas dan tanggungjawabnya. Setelah lama tak melirik kompasiana, saya temukan banyak tulisan pro-kontra kasus malapraktek dokter Ayu (entah benar ayu atau tidak, saya tak pernah liat gambar wajahnya di televisi karena saya memang tak pernah mau menyimak beritanya). Dari kompasianalah saya mengumpulkan banyak serpihan informasi mengenai kasus malapraktek dan sikap para dokter yang membelanya. Dari serpihan informasi itulah saya menjadi terbawa emosi sehingga munculllah judul tulisan seperti yang saat ini ada di hadapan para pembaca Kompasiana yang budiman. Sungguh, saya tak menyalahkan para dokter memberi dukungan untuk pembebasan Teman Sejawatnya. Hal itu boleh saja, sama seperti komunitas lain yang juga memberi dukungan moril bahkan tekanan politis saat anggota komunitasnya berurusan dengan masalah hukum. Saya tak heran bahwa para dokter merasa khawatir dengan efek kriminalisasi profesi mereka karena memang hukum kita memiliki selera yang acak dalam menjatuhkan hukuman. Saya maklum bahwa hanya koruptor sajalah yang melenggang enak di atas rel hukum yang berselera acak karena dengan keacakan hukum itu mereka bisa membeli hukum dan penghukuman, misalnya dengan menyulap sel penjara menjadi hotel berbintang sehingga dipenjara atau tidak dipenjara tetaplah tak ada bedanya buat para koruptor karena mereka adalah orang-orang yang berkuasa. Orang kebanyakan sering lebih khawatir dengan hukum dari pada merasa nyaman dengan hukum. Begitupun para dokter, mereka khawatir bahwa preseden hukum dokter Ayu membuat mereka tak nyaman menjalankan profesi. Permakluman saya ini berdasarkan gejala dan perasaan umum kita terhadap hukum lho ya, bukan sedang menilai kasus posisi dokter Ayu. Saya tak mau komentar tentang materi kasus dokter Ayu karena memang tak kuasa mengomentari perkara hukum hanya dari media tanpa menyentuh dari dekat fakta atau putusan secara langkap. Lalu apa yang membuat saya ingin memenjarakan para dokter seperti tertuang pada judul tulisan ini? Jawabnya: sikap mereka yang angkuh bahkan cenderung munafik dalam melakukan pembelaan diri kelompoknya. Sungguh saya sangat muak dengan tulisan-tulisan mereka yang mengancam bahwa mereka akan menarik para dokter dari berbagai daerah pelosok. Lebih muak lagi saat mereka menggambarkan diri mereka sebagai tenaga profesional yang penuh pengabdian. Padahal saya tahu, dan mungkin juga anda tahu, bahwa mereka para dokter itu adalah bagian dari industri, mereka adalah pelaku usaha. Saya makin muak dengan cara dokter yang tulisannya sempat saya komentari di kompasiana ini yang menantang dengan mengaku-ngaku telah melakukan malapraktek dan mengaku tak punya surat ijin praktek. Tulisan yang seakan melecehkan kaum pengguna jasa mereka, melecehkan para aparat hukum, dan melecehkan hukum itu sendiri. Padahal sebelum tulisan si dokter yang angkuh dan sombong itu saya baca, saya sempat mengagumi kisah seorang dokter di pedalaman Irian (maaf saya lupa namanya) berjudul DOKTER RIMBA RAYA MEMBEDAH. Seandainya tulisan si dokter angkuh yang ditayang di Kompasiana ini tak dibuatnya sebagai bentuk pembelaan diri yang sinis, maka dia melengkapi kekaguman saya pada profesi dokter. Tetapi karena tulisan itu dibuat sebagai bagian dari pembelaan teman sejawat dan kelompok, maka tulisan itu saya anggap sebagai tulisan fiksi. Fiksi yang diangkat untuk membela diri dengan angkuh, sombong dan penuh kemunafikan. Kenapa saya bilang munafik? Karena hampir dalam setiap pembelaan mereka menempatkan diri lebih dibutuhkan masyarakat. Mereka menggambarkan profesi mereka adalah pekerjaan mulia yang semata-mata menyumbangkan ilmu pada masyarakat. Para dokter itu telah menempatkan diri jauh di atas masyarkat. Kenyamanan mereka menjalankan profesi berlipat-lipat lebih pentingnya dari pada kenyamanan dan keselamatan pasien. Begitulah kesan yang saya dapat dari tulisan para dokter itu, sehingga saya dengan sungguh-sungguh berniat melakukan apa yang menjadi judul tulisan ini. Sesungguhnya para dokter itu juga butuh masyarakat. Mereka butuh konsumen, mereka butuh pengguna jasa. Jika mereka jujur, mereka akan tahu bahwa mereka dan masyarakat saling membutuhkan. Karena, seperti saya telah kemukakan di atas, sesungguhnya profesi dokter juga adalah bagian dari industri. Selama ini saya banyak pasrah pada tindak tanduk para dokter walaupun saya sering jengkel dibuat mereka kala saya berobat. Setelah saya tahu karakter mereka dan saya menyadari ada peluang untuk memenjarakan mereka maka inilah waktunya bagi saya untuk membuktikan dengan seadil-adilnya: apakah kenyamanan pasien tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kenyamanan para dokter menjalankan profesi