B. Prinsip anti Korupsi Prinsip-prinsip anti korupsi pada dasarnya merupakan langkah-langkah antisipatif yang harus dilakukan agar laju pergerakan korupsi dapat dibendung bahkan diberantas. Pada dasarnya Prinsip-prinsip anti korupsi terkait dengan semua objek kegiatan publik yang menuntut adanya integritas, objektivitas, kejujuran, keterbukaaan, tanggung gugat dan meletakkan kepentingan publik diatsa kepentingan individu. Dalam konteks korupsi ada beberapa prinsip yang harus ditegakkan untuk mencegah terjadinya korupsi, yaitu prinsip akuntabilitas, transparansi, kewajaran dan adanya aturan main yang dapat membatasi ruang gerak korupsi, serat kontrol terhadap aturan main tersebut. 1. Akuntanbilitas Prinsip akuntabilitas merupakan pilar penting dalam rangka mencegah terjadinya korupsi. Prinsip ini pada dasarnya dimaksudkan agar segenap kebijakan dan langkah-langkah yang dijalankan sebuah lembaga dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna. Akuntabilitas mensyaratkan adanya sebuah kontrak aturan maen baik yang teraktualisasi dalam bentuk konvensi maupun konstruksi, baik pada level budaya (individu dengan individu) maupun pada level lembaga. Melalui aturan maen itulah sebuah kebijakan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh kaerena itu prinsip akuntabilitas sebagai prinsip pencegahan tindak korupsi membutuhkan perangkat-perangkat pendukung, baik berupa perundang-undangan maupun dalam bentuk komitmen dan dukungan masyarakat. Keberadaan undang-undang maupun peraturansecara otomatis mengaharuskan adanya akuntabilitas.Hal ini berlansung pada seluruh level kelembagaan, baik pada level negara maupun komunitas tertentu. Sebagai prinsip akuntabilitas undang-undang negara juga menyebutkan adanya kewajiban ganti rugi yang diberlakukan atas mereka yang karena kelengahan itu telah merugikan negara. 2. Transparansi Transparansi merupakan prinsip yang mengaharuskan semua kebijakan dilakukan secara terbuka sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh publik. Transparansi menjadi pintu masuk, sekaligus kontrol bagi seluruh bagi seluruh proses dinamika struktural kelembagaan seluruh sektor kehidupan publik mensyaratkan adanya transparansi sehingga tidak terjadi distorsi dan penyelewengan yang merugikan masyarakat. Dalam bentuk yang paling sederhana keterikatan interaksi antar dua individu atau lebih mengharuskan adanya keterbukaan, keterbukaan dalam konteks ini merupakan bagian dari kejujuran untuk saling menjujung kepercayaan yang terbina antar individu. Sektor-sektor yang harus melibatkan masyarakat adalah sebagai berikut: a. Proses penganggaran yang bewrsifat dari bawah ke atas, mulai dari perencanaan, implementasi, laporan pertanggungjawaban dan penilaian terhadap kinerja anggran. Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan masyarakat melkukan kontrol terhadap pengelolaan anggaran. b. Proses penyusunan kegiatan atau proyek c. Proses pembahasan tentang pembuatan rancangan peraturan yang berkaitan dengan strategi penggalangan dana. d. Proses tentang tata cara dan mekanisme pengelolaan proyek mulai dari proses tender, pengerjaan teknis, pelaporan finansial dan pertanggungjawaban secara teknis dari proyek yang dikerjakan oleh pimpinan proyek atau kontraktor. 3. Fairness Fairness merupakan salah satu prinsip-prinsip anti korupsi yang mengedepankan kepatutan atau kewajaran. Prinsip Fairness sesungguhnya lebih ditujukan untuk mencegah terjadinnya manipulasi dalam penganggaran proyek pembangunan, baik dalam bebtuk mark up maupun ketidakwajaran kekuasaan lainnya. Jika mempelajari definisi korupsi sebelumya, maka dalam korupsi itu sendiri terdapat unsur-unsur manipulasi dan penyimpangan baik dalam bentuk anggaran, kebijkan dan lainnya. Berdasarkan kondisi tersebut, maka para perumus kebijakan pembangunan menekankan pentingnya prinsip Fairness dalam proses pembangunan hingga pelaksanaanya. Haze Croall dalam bukunya White Collar Crime (kejahatan kerah putih) merumuskan kejahatan kerah putih atau koruptor sebagai kejahatan orang-orang yang menyukai cara-cara licik, menipu dan jauh dari sifat-sifat Fairness. Untuk menghindari pelanggaran terhadap prinsip Fairness, khususnya dalam proses penganggaran, diperlukan beberapa langkah sebagai berikut: a. Komprehensif dan disiplin b. Fleksibilitas c. Terprediksi d. Kejujuran e. Informatif 4. Kebijakan Anti Korupsi Kebijakan merupak sebuah upaya untuk mengatur tata interaksi dalam ranah social. Korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa yang mengancam tata kehidupan berbagai telah memaksa setiap negara membuat undang-undang untuk mencegahnya. Korupsi sebagai bagian dari nilai-nilaiyang ada dalam diri seseorang dapat dikendalikan dan dikontrol oleh peraturan. Kebikjakan anti korupsi dapat dilihat dalam beberapa perspektif, yaitu: isi kebijkan, pembuatan kebijakan, penegakkan kebijakan, hukum kebijakan. 5. Kontrol Kebijakan Mengapa perlu kontrol kebijakan? Jawaban yang pasti atas pertanyaan ini adalah karena tradisi pembangunan yang dianut selama ini lebih bersifat sentralistik. Menurut David Korten lebih dari tiga dasawarsa, pembangunan diasumsikan dari pemerintah dan untuk pemerintah sendiri. Ini berarti bahwa fungsi peran, dan kewenangan pemerintah teramat dominan hingga terkesan bahwa proses kenegaraan hanya menjadi tugas pemerintah dan sama sekali tidak perlu melibatkan masyarakat seolah-olah pemerintah paling mengetahui seluk beluk kehidupan masyarakat di negarannya. Itulah sebabnya, ditengah arus demokratisasi, paradigma tersebut harus direkonstruksi sehingga tumbuh tradisi baru berupa kontrol kebijakan. Paling tidak terdapat tiga model kontrol terhadap kebijakan pemerintah, yaitu oposisi, penyempurnaan dan perubahan terhadap pemerintah. Penggunaaan tiga metode kontrol tersebut tergantung pada bentuk perumusan dan pelaksanaan kebijakanpemerintah serta pilihan politik yang hendak dibangun. C. Strategi Nasional Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi (Stranas PPK) Pemberantasan korupsi telah menjadi salah satu fokus utama Pemerintah Indonesia pasca reformasi. Berbagai upaya telah ditempuh, baik untuk mencegah maupun memberantas tindak pidana korupsi (tipikor) secara serentak oleh pemegang kekuasaan eksekutif (melalui Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah), legislatif, dan yudikatif. Upaya-upaya itu mulai membuahkan hasil: itikad pemberantasan korupsi terdorong ke seluruh Indonesia. Hal itu ditunjukkan dengan semakin meningkatnya keuangan/aset negara yang terselamatkan pada setiap tahunnya dalam pencegahan dan penuntasan kasus korupsi. Sejumlah instansi pelaksana dan pendukung pemberantasan korupsipun terbentuk, antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Presiden juga telah menerbitkan sejumlah instruksi dan arahan untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi (PPK), misalnyaInstruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2004tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. dimana Presiden mengamanatkan berbagai langkah strategis, diantaranya berupa Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) Tahun 2004-2009. RAN-PK 2004-2009 diharapkan menjadi acuan Pemerintahan Pusat dan Daerah dalam memberantas korupsi yaitu dengan menekankan upaya-upaya pencegahan dan penindakan, serta pedoman bagi pelaksanaan monitoring (pemantauan) dan evaluasi. Pemberantasan korupsi di Indonesia telah menarik perhatian dunia internasional. Indonesia, melalui Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2006, telah meratifikasi United Nations Convention against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti korupsi, UNCAC) 2003. Pada tahun 2011, Indonesia menjadi salah satu negara pertama yang dikaji oleh Negara Peserta lainnya di dalam skema UNCAC. Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia diperbandingkan dengan klausul-klausul di dalam UNCAC melalui kajian analisis kesenjangan (gap analysis study). Hasil kajian menunjukkan bahwa, sejumlah penyesuaian perlu segera dilakukan untuk memenuhi klausul-klausul di dalam UNCAC, khususnya bidang kriminalisasi dan peraturan perundang-undangan. Tak kurang, Transparency International (TI) pun setiap tahunnya menjajak pendapat masyarakat Indonesia mengenai eksistensi korupsi, terutama menyangkut kegiatan komersial, dengan mengukur Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. IPK Indonesia -kendati mengalami peningkatan terbesar di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), per tahun 2011, masih terbilang rendah: 3,0 dari nilai maksimal 10. Pada tahun 2014, ditargetkan sejumlah peningkatan yang terukur, terjadi yakni antara lain; (1) pemerintah menargetkan 5,0 untuk IPK, serta (2) penyelesaian 100 persen rekomendasi hasil review pelaksanaan Bab III dan Bab IV UNCAC sebagai alat ukur keberhasilan pemberantasan korupsinya. Demi menjawab target 2014, pada bulan Mei 2011 Presiden memaklumatkan Inpres No. 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011 diteruskan dengan Inpres No. 17 Tahun 2011tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012, yaitu pada bulan Desember 2011. Melaluinya, Presiden menginstruksikan pelaksanaan berbagai rencana aksi yang terinci dengan fokus utama pencegahan korupsi pada lembaga penegak hukum. Aksinya berupa peningkatan akuntabilitas, keterbukaan informasi, kapasitas dan pembinaan sumber daya manusia, serta koordinasi antar lembaga. Inpres No. 9 Tahun 2011 dan Inpres No. 17 Tahun 2011 diharapkan menjadi bagian pertama dan kedua dari rangkaian Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (RAN-PPK) yang akan diselenggarakan tahunan. Pelaksanaan berbagai dokumen nasional pemberantasan korupsi yang telah disebutkan sebelumnya menemui banyak kendala dalam prakteknya, yang paling nampak adalah belum sinerginya aksi yang dilakukan antara. Salah satunya, pelaksanaannya oleh Kementerian/Lembaga maupun daerah. Ini berdampak pada hasil dari kegiatan yang tidak optimal. Agar apa yang dilakukan oleh kementerian/lembaga atau daerah menjadi sebuah upaya yang efektif dan mampu bergerak secara masif, kemudian diterbitkanlah Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2012 tentang Stranas PPK Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012- 2014. Perpres ini secara jelas menguraikan tentang mekanisme penyusunan Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi yang harus dilakukan setiap tahun oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, lengkap dengan indikator capaian yang nantinya juga akan menjadi bahan laporan kepada Presiden, termasuk untuk disampaikan dalam forum Konferensi Negara-Negara Peserta (Conference of the States Parties) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003. Untuk menyusun Stranas PPK, dilakukan dengan melalui konsultasi publik dan diskusi kelompok terfokus. Di dalamnya dilibatkan secara aktif berbagai pemangku kepentingan, dari elemen pemerintah hingga masyarakat madani. Di samping untuk menguatkan rasa memiliki (ownership) pada program termaksud, upaya semacam ini penting untuk memungkinkan terselenggaranya aksi PPK menuju arah yang telah disepakati bersama dengan hasil semaksimal mungkin.