Itu adalah sepotong lagu yang pernah kudengar saat menjalani masa orientasi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Jawa Timur.
Terbayang kembali kenangan lama tentang sekumpulan remaja lulusan SMA yang dihela-paksa menuju sebuah aula, serta diharuskan menelan semua sumpah-serapah dan kekerasan yang tak ada hubungannya dengan dunia akademis. Semua bentakan kasar dan berbagai perintah yang tak masuk akal itu dengan mudah digantikan oleh kenangan tentang kekonyolan, tentang kumis yang dicukur sebelah, juga tentang kebersamaan yang hangat. Meski demikian, ada sekeping kenangan yang tak pernah kami bicarakan - walau hanya dengan bisik-bisik. Dan kenangan itu berhubungan dengan potongan lagu aneh di atas.
Saat itu kami diharuskan mengikuti sebuah “permainan”, dimana sekelompok yunior lelaki berdiri sambil (dipaksa) menyanyi, dan sekumpulan yunior perempuan (dipaksa) menyimak sambil bersimpuh takzim seperti para abdi yang menunggu titah majikan. Lagu itu terdengar seperti mars tentara, namun “koreografi” yang mengiringinya itu lebih mirip goyang pinggul erotis yang hanya ada dalam film dewasa. Bisa ditebak siapa yang kemudian tertawa-tawa dengan puas, dan siapa yang menundukkan kepala dengan wajah memanas. Tiga puluh tahun telah berlalu, namun peristiwa yang amat merendahkan itu lenyap, seakan tak pernah terjadi di muka bumi …
Sungguh menakjubkan mengetahui apa yang bisa kita “dengar” di balik kata-kata yang terucap.
Ketika mereka mengkaitkan “senjata” dan “wanita”, terbayang zona perburuan dan kompetisi, dengan wanita sebagai … entah “hewan buruan” atau tropi. Dan ketika kata “suka” disemburkan dengan jumawa, engkau langsung tahu arti sebenarnya setelah menyimak scene-nya dengan seksama : Lihat siapa yang berdiri dan membuat keputusan. Dan lihat siapa yang diharuskan tunduk bersimpuh tanpa boleh menyatakan keberatan.
Bahkan ketika “suka” diubah dengan kata keramat “cinta” sekalipun, bahasa patriarkhi semacam ini selalu bermakna ganda.
Di satu sisi : “Aku memilikimu ! Aku boleh berbuat apa saja kepadamu !”.
Dan di sisi lain : “Baiklah, akan kulakukan, jika itu membuatmu diam !”
Itulah “permainan” purba paling aneh yang masih digemari, bahkan di wilayah pendidikan, rumah tangga, juga di area “suci” lainnya. Seakan manusia -yang katanya cerdas itu- kehabisan cara untuk menjadi juara, kecuali menegaskan dominasi ala primata berbulu, membabi-buta memperebutkan kendali palsu, dan membuktikan kejantanan di hadapan mereka yang lemah - atau sengaja dilemahkan lebih dahulu.
“Karena lelaki dinilai berdasarkan kapasitas mereka dalam mengendalikan, bertarung, merobek sendi, memecahkan barang-barang, menendang pantat, berteriak mabuk dan lepas kendali- semua itu hanyalah bagian dari “kejantanan”. Kebanyakan pria tidak memenuhi “persyaratan” tersebut, membuat mereka rentan terhadap ejekan, juga terhadap kelebihan yang mereka lihat pada lelaki lain. Hingga mereka menyerah, dan menyerahkan definisi kejantanan pada jurang kegelapan. Mereka hanya merasa perlu memasang topeng jumawa, untuk melindungi diri dan menyembunyikan kegagalan.”
“Kita lalu belajar untuk berdebat, bukan lagi berkelahi. Kita bertarung dengan uang dan kekuasaan, bukan lagi tinju. Kita menyoraki pria jantan seperti tentara, pegulat, pembalap, dan anggota tim sepak bola. Kita bahkan pergi ke permainan hoki bukan untuk menonton hoki, tapi untuk menonton perkelahian. Kita juga bermain video game yang penuh kekerasan”, demikian sosiolog Allan G. Johnson menulis dalam “Why Men Rape” *).
Kejantanan, itukah masalahnya ?
Mengingat desakan kejantanan (baca : hasrat untuk menang) ini merambah ke berbagai wilayah, dari mulai zona publik hingga ke ….. zona paling intim, alangkah baiknya jika kita belajar tentang kejantanan ini langsung dari sumbernya. Yaitu Alam.
Semua mahluk memang memiliki dorongan alami untuk eksis, untuk menang, dan untuk mengabadikan jejak mereka sebanyak-banyaknya di muka bumi. Namun jantan -pada kebanyakan hewan- adalah karakter paradoks, karena mengandung ledakan hormonal yang fluktuatif, diiringi hasrat akan “lahan” di tubuh sejumlah betina untuk menampung sejumlah besar benih. Kombinasi sifat-sifat ini memang memungkinkan para jantan untuk menjalin koneksi -yang tidak perlu personal- dengan sejumlah betina, lebih-lebih para jantan ini juga menghendaki ikatan paling minimal dengan pertumbuhan benih yang akan mereka tinggalkan. Dan untuk semua perilaku yang didasari pertimbangan kuantitatif -plus kehadiran minimal- seperti itu, Alam telah menunjukkan, bahwa benih-benih merana tanpa dukungan para jantan itu hanya cocok menjadi … menu makan siang predator lain !
Berbeda dengan para betina, mahluk yang ditakdirkan untuk menginvestasikan sejumlah besar waktu dan energinya pada benih yang tertanam di dalam tubuh mereka. Strategi kemenangan di mata para betina ini bukanlah kuantitas benih dan kehadiran minimal sebagaimana para jantan, melainkan perilaku selektifnya terhadap jantan dan kualitas kehadirannya terhadap benih. Karena benih adalah investasi penting bagi para betina, lebih-lebih urusan perbenihan ini telah mengorbankan kebebasannya dan menyita seluruh energinya. Para betinalah yang terbukti paling mati-matian dalam menjaga benih-benihnya, bahkan dari … kekejaman para jantan yang merupakan ayah mereka sendiri !
Betapa bodohnya merisaukan kejantanan tanpa melihatnya dalam bingkai yang utuh !
Ketika kejantanan menjadi satu-satunya obsesi, manusia -yang katanya separuh hewan itu- lalu terjebak dalam hasrat untuk memperkosa dan mendominasi. Padahal … kejantanan macam apa yang diharapkan, jika itu hanya digunakan untuk memperdaya mereka yang tak berdaya ? Dan jejak kemenangan macam apa yang akan ditinggalkan, jika dititipkan dengan paksa pada “betina” (baca : anak buah, atau mitra) yang terluka, hingga ia kehilangan kemampuannya dalam menghadirkan diri utuhnya demi “sang benih” (baca : gagasan yang sedang diperjuangkan) ? Betapa mudahnya orang melupakan, bahwa kombinasi antara yang banyak, memaksa, dan menekan itu seringkali berakhir mengenaskan di… got. Jelas diperlukan lebih dari kejantanan untuk mempersembahkan “sajian yang presentable” di panggung terhormat, apalagi jika ada harapan untuk dituliskan dengan tinta emas !
Barangkali menjadi sesuatu yang separuh, apalagi separuh hewan, itu memang tidak pernah cukup.
Di kerajaan hewan, ada serangga-serangga hebat**) yang meninggalkan jejak suksesnya di mana-mana, bukan sebagai mahluk individual, tetapi mahluk komunal. Mereka tidak menggunakan bahasa patriarkhis, bahkan aktivis-aktivis terpenting mereka adalah … perempuan. Tak ada kompetisi kejantanan yang menggelikan di rumah-rumah mereka, hanya ada atmosfer kemitraan. Tak ada yang menekan mereka untuk mendapatkan rangking pertama di kelas. Atau memaksakan kemenangan proyek dengan segala cara. Apalagi memperkosa suara mayoritas demi hasrat untuk menjadi … anggota elit.
Tidak.
Tidak ada !